Minggu, 26 Februari 2012

MAKAM KEDONO KEDINI

Di atas gunung di bawah langit Indoesia, terdapat sepasang makam keramat tinggalan masa lalu yang konon oleh para warga masyarakat sekitar dianggap penuh misteri. Makam ini di namakan makam Kedono-Kedini. Petilasan G.R.M SUMADI dan G.R.Ay SUDARMINAH yang konon adalah Putera Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono II (putera ke 53 dan 59) terletakdi Pedukuhan Sedono(Kedondong), Desa Pundungsar, Kecamatan Semin kabupaten Gunungidul Yogyakarta Indonesia ini tidak banyak diketahui oleh orang karena tempatnya diatas gunung sekaligus medan untuk menuju lokasinya masih sangat sulit dan mungkin ini pertama kalinya di terbitkan, karena saya search di Google juga belum ada yang mem-posting.

Berikut liputan perjalanan saya ketika seorang teman menghampiri saya untuk berjalan-jalan mengajak hunting.

CERITA SINGKAT MAKAM KEDONO-KEDINI SEMIN-GUNUNGKIDUL VERSI WARGA SETEMPAT & BUDAYAWAN WANDY INDRA KUSUMA.Dahulu kala, tersebutlah ada seorang kakak-beradik bernama Kedono & Kedini yang berpisah. Kedini hidup di dalam hutan dan bertahan dengan memakan buah-buahan. Suatu ketika kakak-beradik ini bertemu di tengah hutan dan kemudian, Kedono menyaksikan Kedini dengan perut yang besar dan timbullah perselisihan diantara keduanya, Kedono menuduh Kedini hamil sedangkan Kedini mengaku akibat daripada terlalu banyak memakan buah-buahan. Maka di bedahlah perut Kedini untuk membuktikan dan alhasil bahwa didalam perut Kedini tidak diketemukan apa yang dimaksud oleh Kedono, melainkan hanya buah-buahan, maka dengan perasaan bersalah, Kedono menyusul Kedini dengan cara bunuh diri. Entah cerita ini sejak kapan, tetapi masyarakat setempat meyakini cerita ini dan makam Kedono-Kedini ini sering di gunakan untuk Nyadran. Wallahuallam Bishawab.
Perjalanan berangkat dari rumah berawal dari sekitar jam setengah tiga sore.dalam perjalanan kami berdua mengalami berbagai halangan dan rintangan, diantaranya runtuhnya tanah pegunungan akibat debit air yang tinggi, sehingga banyak warga berkerumun bergotong royong menyingkirkan sisa-sisa reruntuhan, berikut ini gambarnya.


Jalan naik ke atas gunung yang terjal dan mendaki aspal kasar maupun halus hingga jalan-jalan bebatuan yang telah terlewati ahirnya kami sampai di depan pintu masuk menuju makam Kedono Kedini tersebut.


Dari lokasi pintu masuk ini, kami berdua masih harus menaiki tangga yang tinggi, licin dan penuh di tumbuhi tanaman-tanaman liar.


Sesampainya di depan pintu pagar yang mengelilingi makam, Aku pun mengucapkan uluk salam sebisaku, "Assalamualaikum Yaa Ahli Qubuur"... kemudian teman saya yang bernama Angga Prayudha Sakti membuka pintu kecil yang terbuat dari besi tersebut dan mulai mengambil obyek-obyek di sekitar luar pagar. Sayapun juga belum tahu, adakah juru kunci disini, ya mungkin ada tetapi kami tidak menemui seorangpun di sekitar tempat ini untuk kami bertanya dan mencari informasi-informasi lainnya.


Mulai dari sini suasana misteri sangat terasa sekali. Dingin, lembab, redup dan seolah ada yang mengawasi gerak-gerik kami berdua. Meski mata dan kepala kami tidak melihat tetapi kami yakin, ada yang sedang mengawasi kami.


Setelah memasuki pintu kecil yang terbuat dari besi itupun aku mulai melepas alas kakiku kemudian di ikuti temanku. Langsung kami menuju ke sebelah kanan yang berupa bangunan berundak dengan sebuah foto menggantung diatasnya dan makam di depan bangunan tersebut. Sayapun juga tidak tahu, gambar siapakah gerangan yang berada di atas bangunan tersebut.


Setelah duduk beberapa menit, kameraku mulai menarik perhatian pada sebuah prasasti dengan lambang Praja Cihna alias lambang kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. dengan makam Kedono-kedini di belakangnya. Dan dalam prasasti tersebut terukir dua nama yaitu: GRM. Sumadi & GRAy. Sudarminah.


Kami berdua mencoba duduk di sana sambil memandang area sekeliling. Sepi, sunyi tiada manusia satu pun hanya suara-suara nyamuk yang terbang dan sesekali suara kicauan burung dari arah kejauhan. Tapi seolah ada yang mengawasi gerak-gerik kami berdua.


Sampai disini acara memotret pun kami hentikan, karena menurut cerita teman saya, dahulu bapaknya Angga Prayudha Sakti ini memotret makam disini maka, kameranya pun rusak. Untuk kedua kalinya, bapak teman saya ini mencoba mengulang untuk mengambil gambar pada makam tersebut dan lagi-lagi mengalami kerusakan pada kamera Pocket Digital-nya. Jadi ada 2 kamera yang rusak setelah untuk memotret makam tersebut dan gambarnya pun tidak dapat terlihat sama sekali. Bukan soal tidak percaya, tetapi sayapun merasa sayang pada kamera saya jika hal tersebut juga menimpa saya seperti yang terjadi pada bapak teman saya tersebut. Percaya atau tidak, silahkan. Wallahuallam Bishawab.





PROSESI RITUAL NYADRAN GEDONG PULOSARI 
Gunungkidul yang mempunyai kekayaan Adat Budaya selalu diperingati oleh masyarakatnya sebagai perwujudan mengingat jasa, ucapan syukur bahkan pelestarian adat budaya setempat agar tak hilang hingga masa kemasan. Ritual Gedong Pulosari merupakan salah satu bentuk pelestarian peninggalan sejarah berupa Gedong Pulosari adalah Petilasan G.R.M SUMADI dan G.R.Ay SUDARMINAH yang konon adalah Putera Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono II (putera ke 53 dan 59) yang terletak di Pedukuhan Sedono(Kedondong), Desa Pundungsar, Kecamatan Semin kabupaten Gunungidul Yogyakarta Indonesia. Tradisi tersebut telah selalu diperingati setiap tahunnya yaitu di bulan Dzulhijah (jawa: Besar) di Dusun Sedono, Desa Pundungsari, Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta yang akan diramaikan juga dengan beberapa seni adat tradisional yang ada di masyarakat tersebut.
Makam ini adalah aset berharga Indonesia, yang patut untuk dijaga dan di lestarikan. Sekali lagi saya acungkan kedua jempolku untuk Yogyakarta tercinta yang ternyata memiliki budaya dan peninggalan yang masih tersembunyi.
(Koh Lee Van Djocdja)

BENTENG VREDEBURG TAHUN 1970

Di Yogyakarta ada banyak peninggalan bangunan Belanda. Ada yang masih utuh dan di pugar kembali,tapi ada yang sudah terbengkalai. Istana Negara Gedung Agung adalah salah satu bangunan peninggalan Belanda, yang kondisinya masih bagus. Bangunan peninggalan Belanda yang lain dan sudah di pugar, tetapi sebelumnya sempat berantakan dan tidak terawat adalah Benteng VREDEBURG. 
Pada awal tahun baru, tahun 1970-an,. Benteng VREDEBURG pernah dipakai untuk markas batalyon 403 sebelum pindah di Kentungan, Jl. Kaliurang. Di tempat itu pula pernah dipakai untuk tahanan PKI. Sebelum di pugar seperti sekarang Benteng VREDEBURG memang pernah terbengkalai dan tidak terawat sehingga kelihatan sekali menyeramkan. Bangunan kuno yang jarang di jamah oleh orang, memberi kesan "angker" dan menakutkan. 
Sampai akhir tahun 1980-an Benteng VREDEBURG belum sepenuhnya berfungsi, hanya menjelang akhir tahun 1990-an sampai sekarang, tingkat aktivitas di Benteng VREDEBURG bisa disebut cukup tinggi dengan bermacam aktivitas kesenian dan kebudayaan. 
Namun kalau anda melihat foto Benteng VREDEBURG tahun 1970, setidaknya bisa membayangkan kondisi bangunan itu pada masa lalu sebelum di pugar, meski sekarang sudah cukup bagus dan bisa berfungsi untuk berbagai macam kegiatan.

BATU GILANG DAN BATU GATENG KOTAGEDE DI MASA LALU


Sela Gilang dan Watu Canteng atau Watu Gateng yang terletak di bekas kompleks Keraton Mataram Kotagede, Yogyakarta menjadi salah satu artefak penanda bagi eksistensi Keraton Mataram Islam di masa lalu. Kini kedua benda itu telah diberi pengaman berupa cungkup (rumah-rumahan) dari tembok dengan ukuran sekitar 2,5 x 2 meteran dengan pintu menghadap ke timur. Kedua benda dalam cungkup ini sejak dulu hingga kini menjadi salah satu tujuan kunjungan wisata dalam lingkungan kota lama atau bekas kompleks Keraton Mataram Kotagede. Kini, cungkup tersebut diapit atau dikitari oleh jalan beraspal yang menghubungkan Pasar Kotagede-Makam Kotagede-Sela Gilang-Kampun Dalem-Ring Road Selatan.

BANK BNI 46 TAHUN 1925


Bank ini sekarang terletak di jalan utama kota Yogyakarta, tepat di "gerbang" masuk Kraton Ngayogyakarta. Letak bank BNI '46 ini sangat setrategis, selain persisis pada pintu "gerbang" Kraton juga terletak diujung jalan lintas menuju kawasan malioboro, dan juga, tidak jauh dari Istana Negara "Gedung Agung". Bangunan BNI pada tahun 1925, dengan BNI sekarang, meskipun telah mengalami perubahan, tetapi tidak sepenuhnya berubah. Artinya, pemugaran yang dilakukan tidak dengan cara menghancurkan, tetapi tetap memelihara konstruksi yang telah ada sebelumnya. Hal yang menyenangkan, tentu, bahwa nilai historis bangunan ini tidak dengan sendirinya lenyap lantaran bentuk fisiknya masih ada.

BANGSAL RAWAT INAP RUMAH SAKIT YOGYAKARTA TAHUN 1930-AN


 
Tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya rumah sakit di Indonesia (di kala itu bernama Hindia Belanda) yang dikelola secara profesional dipelopori oleh bangsa kulit putih, Belanda. Untuk wilayah Yogyakarta, boleh dikatakan Rumah Sakit Panti Rapih merupakan rumah sakit dengan bilangan umur tua atau bahkan paling tua. Rumah sakit ini berdiri pertengahan Agustus 1929. Rumah sakit ini diberkati oleh Mgr. A.P.F. van Velse, SJ. Semula rumah sakit ini diberi nama Rumah Sakit Onder de Bogen (di bawah lingkungan gereja).

Keberadaan rumah sakit ini sangat membantu kesehatan dan penyembuhan banyak orang, khususnya di lingkungan Yogyakarta waktu itu. Pelayanan yang diberikan tanpa memandang suku, golongan, dan agama menjadikan rumah sakit ini menjadi andalan hampir semua orang di zamannya. Pada masa perjuangan pun rumah sakit ini banyak merawat para pejuang yang terluka. Demikian pun Jenderal Soedirman juga pernah dirawat di rumah sakit ini dan beliau pernah meninggalkan sebuah kenang-kenangan berupa puisi untuk rumah sakit ini.

 

Berikut ini adalah gambar salah satu ruang atau bangsal rawat inap di dalam rumah Rumah Sakit Panti Rapih. Gambar atau foto ini diambil pada kisaran tahun 1930-an. Tampak sekali bahwa plafon atau langit-langit rumah yang terdapat dalam bangsal rawat inap dibuat tinggi sehingga sangat memungkinkan untuk menampung udara (oksigen) sebanyak-banyaknya. Desain ruang yang demikian menyebabkan udara di dalam bangsal akan terasa segar dan sejuk. Perancangan yang demikian itu telah sangat dipahami oleh orang Belanda terhadap daerah tropis yang hangat-panas.

Padahal untuk zaman itu masih demikian banyak tumbuhan/tanaman besar-kecil. Kendaraan bermesin belum banyak. Penduduk belum banyak. Lalu lintas sama sekali tidak semrawut apalagi kacau. Namun bangsa Belanda telah berhitung masak-masak dalam setiap langkah pembangunannya. Berhitung masak-masak akan apa yang dilakukan dan dibuatnya. Sudah berpikir untuk mengantisipasi datangnya kegerahan atau kesumukan yang dapat ditimbulkan akibat desain rumah atau hunian yang kurang cermat. Padahal sungguh, waktu itu Yogyakarta masih sangat sejuk-adem-semilir-hijau.

Perhatikan juga lantainya yang kelihatan bersih mengkilap. Dinding kelihatan bersih. Dipan, selimut ditata demikian rapi dan bersih. Kondisi yang demikian untuk ukuran di masa itu tentu sudah merupakan sebagai sesuatu yang luar biasa mengingat di zaman itu kesadaran akan kesehatan, kerapian, kenyamanan masih dapat dikatakan minim.

Kita bisa membandingkan dengan desain atau kondisi ruang-ruang bangsal di rumah sakit-rumah sakit saat ini. Mungkin sudah relatif sulit ditemukan desain bangsal atau ruang yang lega seperti dalam foto tersebut. Hal demikian dapat terjadi oleh karena terbatasnya dana, lahan, atau ruang yang memang terasa kian menyempit dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mungkin hampir tanpa kendali.
 

a.sartono Sumber: Gegevens over Djokjakarta 1926 A, 1926, Djogjakarta, Pengantar oleh L. F. Dingemans (Resident van Djokjakarta).

ALUM-ALUN LOR (UTARA) TAHUN 1888

Di halaman depan Kraton Ngayogyakarta Hadingrat terdapat, dalam istilah sekarang disebut sebagai "ruang publik", namanya alun-alun lor (utara). Di tengah alun-alun ini terdapat dua pohon beringin, dan dikenal dengan sebutan "ringin kurung", karena pohon beringin ini terletak di tengah pagar yang mengurung. Alun-alun lor yang anda lihat dalam foto ini alun-alun pada situasi tahun 1888. Tentu ada banyak perubahan dengan alun-alun sekarang. Yang tidak berubah ada dua pohon beringin yang ada di tengah. Tidak berubah dalam arti, masih tetap di tengah dan tidak diganti pohon lain. Melihat alun-alun tahun 1888 orang bisa membayangkan, ketika orang berunjuk rasa dalam bentuk "pepe" di alun-alun.



Foto atas diambil dari buku Djokja EN Solo, Koleksi "Karta Pustaka", Anggi Minarni.
Foto dibawah hasil olah digital koleksi pribadi.

Silahkan anda melihat foto alun-alun di tahun 1888 ini sambil membayangkan alun-alun di tahun ini. Bagaimana perubahan telah terjadi setelah 100 tahun lebih.

Kamis, 08 Desember 2011

ALUN-ALUN KIDUL TAHUN 1920

Alun-alun dan ringin kurung adalah salah satu tanda kultural yang di kenal oleh publik. Keduanya ada dalam benteng kraton. Alun-alun dan ringin kurung ada di dua tempat yaitu di alun-alun utara dan alun-alun selatan. Alun-alun utara terletak di sebelah depan sebelum masuk pintu gerbang pagelaran kraton Yogyakarta. Sedangkan alun-alun selatan ada di sebelah belakang pintu gerbang kraton Yogyakarta. Masing-masing pohon beringin terletak persis di tengah. Karena pohon ringin di beri pagar kemudian, di beri nama ringin kurung.



Alun-alun kidul (selatan) pada tahun 1920 keadaannya sangat berbeda dengan sekarang meskipun, ringin kurungnya masih tetap sama. Sudah mengalami berbagai perubahan misalnya; jalan yang melingkari alun-alun selatan sudah beraspal pada jaman dahulu hingga sekitar tahun 1960-an belum di aspal seperti sekarang ini. Alun-alunnya belum di tanami rumput hijau pula. Pada tahun-tahun tersebut di tengah alun-alun ada lapangan untuk bermain anak-anak tetapi, taman itu sekarang sudah tidak ada.

Kira-kira mulai tahun 1990-an banyak orang yang percaya bahwa, siapa saja yang dapat berjalan dengan mata tertutup melewati tengah diantara ringin kurung akan mendapat berkah. Acara tersebut setiap malam akan sering terjadi apalagi, pada hari sabtu (malam minggu) banyak yang melakukan acara tersebut dari mulai anak-anak, remaja hingga orang tua.

Meski dari segi fisik banyak yang sudah berubah namun, ringin kurung masih tetap berada pada tempatnya dan fungsi ruang publik alun-alun makin menemukan maknanya.